Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra
setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru
berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.
Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka
untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan
tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika
menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati
tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus
1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai
pada akhir tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi
kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah
menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949,
penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena
penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet
Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut
catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya
sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya
makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya -
yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi
panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku,
Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan
dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh
banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh
ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati
sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw
menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema
menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar
99 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya.
Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun
1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi.
Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak,
dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi
pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam
Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan
puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar#Karya-karya_tentang_Chairil_Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar